Bandara Soekarno Hatta, suatu malam di awal Januari
“Nanti jangan sampai kecantol bule lho!"
Acha tertawa mendengar kata-kata Ozy. Dia berbalik menatap wajah cowoknya.
“Waduh.
Susah itu. Bagaimana kalo disana aku ketemu Robert Pattinson yang
memintaku menikah dengannya? Bakal lupa segala deh diriku kalau sampai
itu terjadi” jawab Acha.
“Ah. Ga mungkin kamu ngelupain aku”
“Kepedean!” Acha tertawa geli kembali.
“Cha,
di Australia banyak koala kan? Kalau kau melihat koala, kau pasti inget
aku. Kan sama imutnya?” Ozy menatap Acha yang duduk di sebelahnya.
“Sok
imut!” Acha memandangi Ozy, dan tersenyum. Dengan kemeja kuning
cerahnya, Ozy lebih mirip seekor burung kenari. Apalagi kebiasaan Ozy
menatap Acha sambil sedikit memiringkan kepalanya ke arah kiri, dengan
kedua matanya yang berkilau, Ozy mengingatkan Acha pada seekor burung
kenari yang menatap pemiliknya, dan minta diajak bermain.
“Cha…
Mendingan kamu masuk sekarang deh, check in nya kan bakalan rada lebih
ribet dibanding penerbangan domestik…” kata Rio sambil berjalan
mendekat. Mama dan Papa Acha mengikuti kakaknya itu dari belakang.
Acha
berdiri, Ozy di sebelahnya juga ikut berdiri. Menyalami Papa dan
mencium tangan beliau. Memeluk Mama sambil meyakinkan beliau bahwa Acha
akan baik-baik saja di Melbourne. Bahkan Rio, kakaknya yang biasanya
selalu berseteru dengan Acha untuk hal-hal sepele di rumah terlihat
sedikit berat untuk melepaskan pelukan saat Acha berpamitan.
Acha
berbalik menghadap Ozy. Berusaha tersenyum. Toh perpisahan ini hanya
sementara. Beasiswa ini terlalu berharga untuk ditolak, dan dia percaya,
Ozy akan menunggunya.
Ozy menarik nafas panjang, kemudian melepaskan syal kuning yang melingkar di lehernya.
“Jaga diri ya Cha…” kata Ozy sambil melingkarkan syal itu di leher Acha.
Acha
hanya mengangguk, tidak sanggup berkata-kata. Ozy berusaha tersenyum,
dan mengacak-acak rambut Acha. Acha meraih koper dan ranselnya, dan
berjalan menuju pintu gerbang maskapai. Cita-citanya menanti.
***
Changi International Airport, akhir November
Acha
merogoh tasnya, dan mengeluarkan handphonenya. Tersenyum. Bagus,
ternyata penyedia layanan telfon yang dia pakai di Melbourne masih bisa
dipakai sampai disini. Tanpa berpikir, dia memencet sejumlah nomer yang
sudah dia hafal di luar kepala. Setelah beberapa kali nada sambung,
sebuah suara menyahut.
“Halo?”
“Zy?”
“Cha? Acha?”
“Iya…”
“Kok nomernya aneh sih? Ini beneran kamu Cha? Kamu dimana?”
Acha tertawa.
“Iyaaa… aku udah di Changi Zy, transit, tapi bentar lagi udah mau terbang ke Cengkareng nih.”
“Ya ampun! Dasar koala kamu ini! Kenapa ga bilang-bilaaaanggg??? Ngapain pulang sih kamu? Kamu ga didrop out kan?”
“Heh! Enak aja! Summer holiday Zy, 4 bulan. Dan Alhamdulillah hasil kerja part time aku disana cukup buat beli tiket pulang.”
“Kamu jadinya nyampe Cengkareng jam berapa? Aku jemput ya?”
“Ga usah Zy. Dari rumah kamu jatuhnya muter banget. Mending kamu langsung ke rumah aku aja.”
“Beneran?”
“Iyaaaa…”
“Oh, ya udah deh. Bener juga. Ga kuat aku ngebayangin macet ke Cengkareng kalo jam segini…”
“Zy, aku udah dipanggil boarding. I’ll see you in a few hours…”
“Can’t wait to see you…”
Acha
mematikan handphonenya, tersenyum. Dia lalu bergegas menuju gerbang
keberangkatan, sementara pengeras suara kembali memanggil penumpang
untuk segera naik ke atas pesawat.
***
Belum sempat Acha memencet bel, pintu sudah terbuka lebar. Mama langsung memeluk anak bungsunya, dan hampir menangis.
“Ya ampuuunnn… anak Mama kok tambah kurus aja siiihhh…”
Di belakang Mama, Rio tertawa.
“Cha, lu udah hampir setahun di luar negri, kok ga tambah mirip bule sih?”
Acha
tertawa sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Mama. Sambil
menarik koper dan memasuki ruang tamu, dia mengedarkan pandangan.
“Ozy belum datang ya Kak?”
“Belum.
Tapi tadi dia sempet nelfon, bilang kalo udah berangkat dari rumah,
tapi kayaknya mau sholat Maghrib dulu di jalan. Tau kan mesjid yang
sering dia lewati?”
Acha mengangguk. Bagus juga sih, jadi dia sempe mandi dulu dan mempersiapkan diri sebelum bertemu dengan Ozy.
“Acha naik dulu ya Ma, mau mandi…”
Mama mengangguk, “Sekalian sholat Maghrib Cha, udah azan tuh…”
Acha balas mengangguk, menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas.
***
Ozy
duduk di pelataran masjid, meraih sepatu ketsnya dan memakaikannya di
kedua kakinya. Sambil mengikatkan tali sepatunya, dia tersenyum. Dadanya
serasa nyaris meledak dengan kebahagiaan. Bidadarinya ada di sini!
Akhirnya, setelah hampir setahun di Melbourne, mereka bisa benar-benar
bertemu. Bukan hanya sekedar telepon atau chat belaka.
Selesai
mengenakan sepatunya, Ozy berdiri, menepiskan debu di jeansnya dengan
kedua tangannya. Sambil bersiul perlahan, dia melangkah menuju sepeda
motornya. Suara kucing yang mengeong menarik perhatiannya. Ozy menoleh,
dan melihat seorang gadis kecil berponi yang sedang mengelus seekor
kucing. Sambil tersenyum, Ozy teringat Acha kembali. Acha yang berponi
dan selalu mengikat rambutnya menjadi sebuah buntut kuda.
Kucing
itu mengeong kembali, dan berlari meninggalkan si gadis kecil. Seakan
tidak rela ditinggal pergi, si gadis kecil mengejar kucing itu dengan
langkah-langkah kecilnya. Ozy semula masih tersenyum, tapi terkesiap
begitu melihat ke arah mana si kucing dan gadis kecil itu berkejaran.
Saat si kucing dengan lincahnya menyeberangi jalan raya, sang gadis
kecil terus mengejar. Ozy melihat kilasan lampu kendaraan. Ozy mendengar
suara klakson yang ditekan panjang. Semua terasa kabur. Ozy tak sempat
berpikir saat berlari mengejar gadis itu dan melompat. Yang ada di
pikirannya hanya satu: gadis kecil itu harus selamat.
Suara terakhir yang didengarnya hanyalah decitan rem. Setelah itu semua gelap.
***
Acha
mendesah, dan melipat mukena yang baru dipakainya. Dia memandang jam di
dinding kamarnya. Sudah lewat Isya, tapi Ozy masih belum sampai.
“Apa anak itu tadi Maghrib-an di Istiqlal ya…” pikir Acha setengah kesal.
Bunyi
ketukan halus di jendela kamar menarik perhatian Acha. Sambil
mengerutkan kening, dia membuka tirai jendela, dan tertawa kecil melihat
pemandangan yang ada. Seekor burung kenari kecil tengah menatap Acha,
sambil sedikit memiringkan kepalanya. Kilau mata burung itu terlihat
berseri di antara bulunya yang berwarna kuning.
“Kenapa kau
kemalaman begini burung kecil?” bisik Acha sambil menggeser kaca untuk
membuka jendela, dan burung kenari itu melompat ke bahu Acha. Acha
tertawa geli ketika burung itu menggosok-gosokkan paruhnya di rambut
Acha.
“Cha…” suara Mama diiringi ketukan halus di pintu kamar
membuat Acha berpaling. Burung kenari itu melompat kembali ke ujung
jendela.
Acha melangkah menuju pintu dan membukanya. Ada Rio dan Mama disana. Dengan ekspresi berduka.
Mama menggigit bibir. “Cha…”
Acha mengerutkan kening.
Mama menyambung dengan lirih, “Ozy kecelakaan…”.
Tidak.
Tidak mungkin. Acha langsung limbung, untunglah Rio sempat menahan
tubuhnya. Acha menoleh ke arah jendela, mencari si burung kenari. Burung
kenari itu balas menatapnya, lalu mengepakkan sayap. Pergi.
***
Acha membiarkan air matanya mengalir kembali. Untuk apa dihapus?
Sambil
memeluk lututnya Acha memejamkan mata. Ini pasti mimpi. Semua ini
mimpi. Dua minggu terakhir ini Acha merasa semua kabur. Adegan-adegan
itu terus berulang seperti mimpi buruk. Tubuh Ozy yang terbujur kaku di
rumah sakit, ditutupi sehelai kain (Tidak. Ini semua salah. Itu pasti
bukan Ozy. Ozy selalu bersemangat. Tidak mungkin dia pergi. Lihat saja
senyumannya. Lihat saja tawanya. Lihat saja pancaran matanya. Ozy begitu
mencintai indahnya hidup ini. Mana mungkin dia pergi begitu saja??)
Acha
terisak perlahan. Mengingat saat pemakaman. Begitu banyak yang hadir.
Teman teman dan guru-guru mereka di SMA dulu. Teman-teman kuliah Ozy.
Bahkan orang-orang yang tidak dikenal Acha. Acha tahu, Ozy selalu
membawa keceriaan dengan tawa dan senyumnya itu. Tapi dia tidak
menyangka, bahwa begitu banyak orang yang dikenal Ozy, yang mengenal
Ozy. Yang juga merasa, bahwa dunia sudah kehilangan seseorang yang
sangat berarti. Seseorang dengan senyuman malaikat.
Acha
memandang ke bawah. Dari ketinggian sepuluh lantai, orang-orang terlihat
begitu kecil. Mondar-mandir, hilir mudik. Acha tersenyum pahit. Setahun
yang lalu, Acha duduk di atap kampus ini bersama Ozy. Tertawa melihat
betapa mentari sore seakan bisa mereka jangkau berdua. Hanya pagar besi
sebatas pinggul yang memisahkan mereka dari langit. Tapi kini, dia
sendiri.
“Acha…”, sebuah suara halus memanggilnya. Acha menoleh.
Dari pintu di ujung sana, Gabriel melangkah mendekati Acha. Acha
membuang muka.
“Bukan cuma kamu yang kehilangan Cha…” Gabriel
duduk di sebelah Acha. Acha diam. Dia tahu, Gabriel pun pasti sangat
kehilangan adik satu-satunya itu.
“Cha, relakan dia Cha… Ozy
pasti sedih melihat kamu nangis terus kayak gini…”, Gabriel menarik
nafas beberapa kali. “Berat memang Cha… Tapi hidup harus tetap
berjalan.”
Acha berdiri dengan cepat.
“Ini semua ga adil
Kak!” Acha menunjuk ke bawah, ke tengah orang-orang yang masih
mondar-mandir, seakan-akan tidak sadar bahwa bagi Acha, dunia sudah
berhenti berputar. “Jalan Ozy seharusnya masih panjang. Kakak tahu
sendiri betapa dia begitu bersemangat dengan semua yang dia lakukan,
dengan semua cita-cita dia. Tapi kenapa dia harus pergi Kak? Kenapa?
Kenapa mesti Ozy? KENAPAA???”. Acha sudah tidak peduli dengan air mata
yang terus menganak sungai di pipinya…
“Mungkin ini memang yang
terbaik buat Ozy, Cha. Mungkin bagi Tuhan, Ozy terlalu baik untuk tetap
ada di dunia ini, di dunia yang seperti panggung sandiwara ini” sahut
Gabriel sambil menatap Acha dengan sedih. Dia ikut berdiri di sebelah
Acha, tangan kanannya meraih pundak Acha. Acha menepis tangan itu dengan
kasar. Masih terisak, Acha memegangi pinggiran pagar itu dengan kedua
tangannya.
Wajah Gabriel kini terlihat khawatir, melihat betapa
pagar pembatas itu hanya setinggi pinggul Acha. “Acha… hati-hati Cha…”
bisik Gabriel perlahan.
Acha tidak menjawab, masih terisak. Apa
kata Gabriel tadi? Ini adalah yang terbaik? Bukan. Salah. Bagi Acha,
yang terbaik baginya adalah berdua dengan Ozy. Acha mengangkat wajahnya,
merasakan sinar matahari senja yang hangat. Sehangat senyuman malaikat
milik Ozy. Acha menatap langit sambil menopangkan tubuhnya ke depan,
bersandar pada pagar pembatas.
Kepalanya terasa ringan, tubuhnya
terasa ringan. Ringan sekali, seakan-akan dia bisa terbang, ke langit
sana, dimana Ozy pasti sedang menunggunya, untuk menari bersama bintang.
Acha menjulurkan tangannya, berusaha meraih langit itu…
“ACHAAA!!!!”
Acha tidak mempedulikan teriakan Gabriel. Yang dia rasa, tubuhnya terasa melayang seperti kapas.
***
Acha membuka matanya. Putih. Hanya warna putih di sekelilingnya.
“Acha…”
Acha
tidak mempercayai pendengarannya, dan dengan cepat duduk. Melihat
seseorang yang sedang berdiri di depannya, Acha ingin berteriak. Ingin
berlari ke arah sosok itu. Tapi entah kenapa, tubuh Acha tidak bisa
bergerak sesuai keinginannya.
Ozy tersenyum, melangkah ke
sampingnya, dan duduk di sebelah Acha. Acha menoleh, melihat Ozy yang
tengah memandanginya sambil sedikit memiringkan kepalanya. Acha tertawa,
dengan kemeja kuningnya itu, Ozy betul-betul terlihat seperti seekor
burung kenari kecil, dengan sepasang mata yang bersinar.
Ozy tidak balas tertawa. Dia justru bertanya pada Acha, tanpa mengalihkan pandangan, “Kamu bahagia Cha?”
Acha terdiam, menatap Ozy, dan menggeleng. Ozy nampak sedih.
“Kenapa Cha?”
Acha kesal. Untuk apa Ozy bertanya seperti itu?
“Untuk
apa bahagia Zy? Kamu sudah ga ada lagi! Udah ga ada kamu lagi disisiku
Zy!” Acha setengah berteriak. Air mata mengalir kembali di pipinya.
Ozy menggeleng sedih, “Kenapa kamu bilang aku sudah tidak di sisimu lagi, Cha?”
Acha menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, dan terisak kembali, “Kamu udah mati Zy. Kamu udah pergi…”
Ozy menghela nafas. “Jadi bagi kamu begitu? Aku udah pergi? Bahkan dari hatimu?”
Acha membuka tangannya, menatap Ozy.
“Jawab Cha. Apakah aku benar-benar pergi dari hatimu?”
Acha memandangi wajah Ozy, menatap lurus ke mata Ozy, dan menggeleng tegas.
“Nggak Zy. Kamu ga akan pernah pergi dari hatiku…”
Ozy tersenyum, berbisik pelan sambil mengelus pipi Acha dengan lembut, “Kalau begitu, aku akan tetap di sisimu”.
Acha
menutup mata, menyadari kehangatan yang merasuki hatinya. Ozy benar,
selama Ozy masih ada di hati Acha, selama itulah Ozy ada di sisinya.
Maka Ozy tidak akan pernah benar-benar pergi, karena Ozy akan tetap
hidup di hati Acha.
***
Silau. Acha memicingkan matanya, dan mengangkat tangannya untuk melindungi matanya.
“Acha? Kamu udah sadar?”, suara Rio di sebelahnya terdengar khawatir.
Acha menoleh. Di sisi kiri tempat tidurnya Rio nampak lelah, namun berusaha tersenyum.
“Aku…belum mati?”
Rio tertawa pelan. “Belum… Untung ada Gabriel…”
Acha mengangkat alis, meminta penjelasan lebih lanjut.
“Kamu
pingsan di atap kampusnya Ozy, untung Gabriel sempet narik kamu. Ga
kebayang kalau kamu sendirian di atas sana”, Rio menggelengkan kepala
membayangkan itu terjadi. “Sama Gabriel kamu langsung dibawa pulang ke
sini. Terus Papa nelfon dokter buat datang ke sini meriksa kamu. Kata
dokter, tekanan darah kamu drop banget, terus kamu sempet disuntik obat
penenang gitu deh… “
Acha tidak menyahut. Pandangannya jatuh ke
meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Pada sebuah foto dalam pigura. Di
foto itu, Acha tengah tertawa berdua dengan Ozy. Perlahan, Acha
mengubah posisinya dari berbaring menjadi duduk.
“Kak Rio…”
“Ya Cha?”
“Ozy tidak pernah benar-benar pergi kan? Ozy selalu ada di hati kita kan?”
Rio tersenyum lembut, perlahan membelai rambut adiknya.
“Iya
Cha. Ozy tidak pernah benar-benar pergi. Untuk orang sebaik Ozy, dia
akan tetap hidup di dalam hati banyak orang. Di hati kamu, di hati
kakak.”
Acha mengangguk.
Bunyi ketukan halus di kaca
jendela membuat mereka menoleh ke arah jendela. Seekor burung kenari
kecil hinggap di tepian jendela yang setengah terbuka. Menatap mereka,
dengan kepala yang sedikit dimiringkan. Sinar matahari pagi yang masuk
tidak memudarkan kilauan mata burung kenari itu. Acha tersenyum. Seakan
tidak takut pada mereka berdua, burung kenari kecil itu terbang masuk,
dan hinggap di pundak Acha. Menggosok-gosokkan paruhnya di rambut Acha.
Acha
tersenyum kembali, memandangi burung kenari di bahunya itu sambil
membelai halus bulu sang burung kenari. Acha mengangkat kepala dan
menatap Rio. Senyumnya kembali bercahaya.
“Kakak benar. Ozy akan selalu ada di hatiku. Di hati banyak orang…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar